Berpotensi Rugikan Negara Rp19,4 M Akibat Bagi-bagi Insentif, Kepala Bapenda Sumsel Terkesan Bungkam

Palembang – Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Sumaterea Selatan telah merampungkan audit terhadap 17 Kabupaten Kota dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Dari hasil audit tersebut diketahui terdapat Perhitungan Insentif dengan Per Jenis Pajak Tidak Sesuai dengan Ketentuan dan Perhitungan Pembayaran Besaran Insentif Memasukkan Tunjangan Penghasilan PPh Pasal 21 pada Dipenda Provinsi Sumatera Selatan.

Berdasarkan LHP LKPD Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2022, Pemeriksaan atas kertas kerja perhitungan besaran insentif Pemungutan Pajak Daerah yang dibagikan diketahui bahwa besaran insentif yang dibayarkan termasuk Tunjangan Penghasilan berupa PPh Pasal 21.

Tunjangan PPh Pasal 21 seharusnya tidak masuk dalam komponen tunjangan yang melekat pada gaji sebagaimana yang dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010. Tunjangan melekat yang dimaksud oleh Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 meliputi tunjangan istri/suami, tunjangan anak, tunjangan jabatan struktural/fungsional, dan/atau tunjangan beras. Berdasarkan permintaan keterangan, Tunjangan PPh Pasal 21 dihitung sebagai Tunjangan yang melekat karena tunjangan tersebut melekat pada gaji. Pemberian Tunjangan PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tanggal 20 Desember 2010.

Adapun Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tanggal 19 Oktober 2010 yang terbit terlebih dahulu sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 sehingga Tunjangan PPh belum ada di Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010.

Kemudian Peraturan gubernur maupun peraturan pemerintah terkait dengan tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah menyatakan bahwa besarnya pembayaran insentif dikelompokkan berdasarkan realisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah tahun anggaran sebelumnya.

Jika dilihat penerimaan pajak tahun anggaran sebelumnya, menunjukkan bahwa realisasi Pajak Daerah sebesar Rp3.523.785.342.246,24. Dengan besaran nilai realisasi tersebut, maka besaran insentif yang dapat dibagikan paling tinggi delapan kali gaji pokok dan tunjangan melekat.

Pemeriksaan atas kertas kerja perhitungan insentif pemungutan pajak diketahui bahwa perhitungan dan pembayaran dilakukan per jenis pajak. Apabila perhitungan yang dilakukan per jenis pajak, maka dapat disimulasikan bahwa untuk setiap jenis pajak (dengan realisasi melebihi target) insentif per orang per tahun adalah gaji pokok dan tunjangan melekat dikalikan delapan dan dikalikan 12 (untuk 12 bulan) sehingga menjadi 96 kali. Dengan realisasi penerimaan pajak melebihi target untuk semua jenis pajak, maka perhitungan besaran insentif pajak akan dikalikan lima (untuk lima jenis pajak) sehingga besaran insentif per orang menjadi 480 kali (pengali maksimum) untuk satu tahun.

Berdasarkan permintaan keterangan, perhitungan besaran insentif menggunakan hasil penilaian kinerja dari atasan langsung sebagai komponen pembentuk besaran insentif, kemudian disesuaikan dengan besaran persentase per penerima insentif berdasarkan keputusan gubernur. Perhitungan besaran insentif dilakukan untuk tiap jenis pajak dengan pembayaran secara bulanan dan dicairkan secara triwulan.

Adapun batas tertinggi insentif yang dapat diterima pegawai untuk tiap bulan per jenis pajak adalah delapan kali gaji dan tunjangan yang melekat (termasuk Tunjangan PPh Pasal 21) berdasarkan ketentuan pada keputusan gubernur.

Berdasarkan hasil perhitungan ulang dengan menggunakan dasar realisasi penerimaan pajak tahun sebelumnya maka insentif yang dapat dibagikan paling tinggi delapan kali gaji pokok dan tunjangan melekat. Dengan perhitungan insentif per bulan sesuai dengan peraturan pemerintah, jika dikalikan empat triwulan dan besaran gaji pokok dan tunjangan melekat, maka nilai insentif yang tidak dapat dibayarkan sebesar Rp19.488.556.511,60.

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada Pasal 2 dan pasal 7.

Permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran kepada sebagian penerima insentif sebesar Rp19.488.556.511,60. Hal tersebut disebabkan Kepala Bapenda kurang melakukan pengawasan dan pengendalian atas realisasi pembayaran insentif pajak daerah, Kepala Sub Bagian Keuangan tidak memedomani ketentuan dalam melakukan pencairan upah pungut yang menjadi tanggung jawabnya dan Perhitungan pembayaran insentif memasukkan tunjangan penghasilan PPh Pasal 21.

Atas permasalahan tersebut, Gubernur Sumatera Selatan menyatakan tidak sependapat dengan hasil pemeriksaan BPK dan melalui Kepala Bapenda menyampaikan penjelasan sebagai berikut. a. Atas permasalahan perhitungan pembayaran insentif memasukkan tunjangan penghasilan PPh Pasal 21 Kepala Bapenda menyatakan bahwa tunjangan PPh Pasal 21 termasuk penghasilan yang dibayarkan secara tetap dan teratur setiap bulannya;

Kepala Bapenda telah menyampaikan surat kepada Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri perihal permohonan penjelasan dan penafsiran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010.

Terkait hal tersebut telah diadakan rapat dan hasil dituangkan ke dalam notulensi, yang antara lain memuat hal sebagai berikut.

1) Besarnya insentif ditetapkan paling tinggi 3% untuk provinsi dari rencana penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam tahun anggaran berkenaan untuk tiap jenis pajak dan retribusi, dimaknai sebagai batasan tertinggi rencana alokasi anggaran yang akan digunakan untuk belanja pembayaran insentif tiap jenis pajak dan retribusi provinsi yang ditetapkan berdasarkan rencana penerimaan pajak dan retribusi pada APBD berkenaan;

2) Besarnya pembayaran insentif untuk setiap bulannya dikelompokkan berdasarkan realisasi penerimaan pajak dan retribusi tahun anggaran sebelumnya, dimaknai sebagai batasan paling tinggi untuk menghitung besarnya pembayaran insentif kepada penerima pembayaran insentif kepada penerima pembayaran insentif; dan

3) Pemaknaan terhadap masing-masing pasal pada Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 merupakan satu kesatuan sehingga tidak dapat ditafsirkan secara parsial.

Kepala Bapenda menyatakan bahwa Pergub Nomor 29 Tahun 2021 sudah tidak berlaku karena telah dikeluarkan Pergub Nomor 10 Tahun 2023. Pelaksanaan pembayaran insentif Tahun 2022 tetap merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010. Hal tersebut merupakan penyempurnaan produk hukum dari Direktorat Produk Hukum Daerah sehingga pembayaran insentif tetap mengacu dan tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010. Atas tanggapan tersebut, BPK menyampaikan sebagai berikut.

  1. PPh Pasal 21 bukan merupakan penghasilan, oleh karena itu atas tunjangan PPh Pasal 21 tidak dikenakan pajak penghasilan. PPh Pasal 21 bagi ASN dibayarkan oleh Pemerintah yang merupakan tunjangan pajak;
  2. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010, Insentif pemungutan pajak Insentif adalah tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi, dengan demikian, Insentif tersebut tidak sama dengan gaji dan tunjangan namun berupa honorarium (penghargaan);
  3. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 262/PMK.03/2010 pada Pasal 2 mengatur tentang penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD serta pada Pasal 3 dijelaskan bahwa atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas. Hal ini dijelaskan juga dalam Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Nomor SE-8/PB/2011 tentang Petunjuk Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, dan Anggota Polri atas Penghasilan Tetap dan Teratur Setiap Bulan. Dengan demikian, BPK berpendapat bahwa insentif bukan merupakan klasifikasi penghasilan tetap dan teratur;.
  4. Notulensi antara Bapenda dengan Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah bukan merupakan produk hukum yang masuk dalam tataran peraturan perundang- undangan. Hal yang disampaikan dalam dokumen notulensi tersebut juga telah sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 dan Pergub Nomor 29 Tahun 2021. Kesesuaian tersebut khususnya terkait dengan batas maksimal perhitungan besaran anggaran untuk alokasi pembayaran insentif per jenis pajak dan batasan maksimal realisasi pembayaran insentif berdasarkan realisasi penerimaan pajak dan retribusi. Jadi aturan tersebut dari satu sisi merupakan pengaturan terkait dengan pengalokasian anggaran di APBD dan sisi lainnya mengatur terkait pembayaran atau realisasi insentif upah pungut.
  5. BPK tidak dapat mengabaikan ketentuan perundang-undangan seperti Peraturan Gubernur Nomor 29 Tahun 2021 yang digunakan sebagai dasar pembayaran Tahun 2022. Ketentuan tersebut berlaku secara sah karena telah ditetapkan dan diundangkan dan masuk dalam Berita Daerah Provinsi Sumatera Selatan. Jika dilihat Pergub Nomor 10 Tahun 2023, pada Pasal 11 dinyatakan bahwa peraturan gubernur tersebut mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Pergub Nomor 10 Tahun 2023 ditetapkan pada tanggal 11 April 2023 dan diundangkan pada tanggal 11 April Tahun 2023.

Menurut BPK, Kepala Bapenda kurang melakukan pengawasan dan pengendalian atas realisasi pembayaran insentif pajak daerah, Kepala Sub Bagian Keuangan tidak memedomani ketentuan dalam melakukan pencairan upah pungut yang menjadi tanggung jawabnya dan Perhitungan pembayaran insentif memasukkan tunjangan penghasilan PPh Pasal 21. Sementara Kepala Bapenda Sumsel, Neng Muhaibah saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, hingga berita ini diturunkan tak kunjung ada jawaban.

Sumber: pelitasumatera.or.id