BPK Harus Dukung Reformasi Birokrasi

Tekad pemerintah untuk mewujudkan tala kelola pemerintahan yang baik dan bersih mulai memperlihatkan hasilnya. Ini terlihat saat pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pekan lalu, al menyebutkan pemerintah berhasil menertibkan 39.477 rekening yang tersebar di berbagai kementerian dan institusi pemerintah dengan nilai Rp 35,9 triliun, US$238 juta, dan 2,9 juta Euro. Pembenahan ini penting, karena prinsip utama dari reformasi birokrasi adalah transparansi dan akuntabilitas. Kedua hal itu penting dijalankan semua instansi pemerintahan dan kementerian dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik yang didengung-dengungkan sejak reformasi bergulir belum lama ini. Kita patut mengapresiasi keterbukaan pemerintah yang berani mengakui adanya ketidaktertiban administrasi di lembaganya sendiri. Selanjutnya pembenahan itu penting dilakukan agar Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tidak terus-menerus menghasilkan opini disclaimer (tidak memberikan pendapat) saat diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sejak 2004 hingga 2008. Hasil audit BPK menyampaikan opini tersebut menunjukkan masih ada ruang lingkup audit yang dibatasi secara material oleh pemerintah, sehingga BPK tidak bisa memperoleh bukti-bukti audit yang dibutuhkan untuk bisa menyimpulkan dan menyatakan pendapat. Artinya, BPK tidak memperoleh keyakinan LKPP itu telah dibuat secara jujur dan benar. Di sisi lain, kita juga patut bersyukur karena opini disclaimer menunjukkan tren menurun. SBY dalam pidatonya mengungkapkan, jumlah laporan keuangan yang mendapat opini tertinggi, yaitu wajar tanpa pengecualian (WTP), meningkat dari 7 laporan (2006) menjadi 35 laporan pada 2008. Sementara itu, yang mendapat status disclaimer pada periode yang sama menurun dari 35 menjadi 18 laporan pada akhir tahun lalu. Dari gambaran tersebut mengindikasikan keteladanan dari pemimpin merupakan contoh terbaik. Kita berharap, langkah-langkah pemimpin negara dalam menertibkan rekening-rekening tersebut sejatinya diikuti oleh para kepala daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap publik yang telah memilih mereka. Kita seharusnya sama-sama menyadari, keberadaan rekening-rekening yang tidak tertib administrasi dapat berpotensi munculnya praktik korupsi. Dalam banyak sidang kasus korupsi, terbukti penyelewengan dana selalu menggunakan rekening-rekening seperti itu. Melalui kebersamaan semua pihak terkait, kita ingin tidak ada lagi praktik kebocoran uang negara melalui rekening liar” Dengan begitu, mulai tahun depan tidak ada lagi laporan keuangan pemerintah yang mendapat opini disclaimer, wajar dengan pengecualian (qualified opinion), atau bahkan opini tidak wajar (adverse opinion). Sebaliknya, yang muncul adalah opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Kita tentu berharap opini tingkat unqualified opinion menjadi penting artinya di mata publik karena akan menunjukkan semakin tertib dan baiknya kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangan negara. BPK juga mempunyai tanggung jawab teknis dan administratif dalam membina dan meningkatkan kapasitas pertanggungjawaban Laporan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam era reformasi saat ini.*